Kodependensi adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan gangguan pada orang yang hidup dengan pecandu, namun kini kian diperluas untuk mencakup siapapun yang tumbuh dalam keluarga yang disfungsional. Kodependensi tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki. Dengan kata lain, laki-laki juga bisa menjadi kodependen.
Kodependensi dapat didefinisikan sebagai kondisi emosional dan perilaku yang mempengaruhi secara negative kemampuan individu yang mempunyai hubungan yang sehat dan memuaskan. Seringkali disebut juga sebagai ‘adiksi terhadap hubungan’ di mana orang dengan kodependensi akan membentuk hubungan yang sifatnya hanya sepihak. Sehingga destruktif bagi dirinya sendiri secara emosional.
Definisi lainnya dari kodependensi adalah: “perilaku maladaptif dan kompulsif yang dipelajari anggota keluarga untuk bisa bertahan hidup dalam keluarga yang mengalami stress dan rasa sakit emosional yang tinggi, dalam hal ini keluarga yang menunjukkan permasalahan kronis dan menahun seperti kecanduan pada narkoba, berjudi, atau kekerasan, dan lain-lain.”
Kodependensi adalah perilaku yang dipelajari yang karenanya dapat diwariskan dari generasi ke generasi, atau bisa menjadi warisan budaya. Kodependensi biasa subur dalam budaya bungkam. Dalam budaya di mana keluarga tidak biasa atau tidak dapat membahas adanya permasalahan, kodependensi tumbuh subur. Kalau ada masalah, mereka tidak akan mengkonfrontasinya karena ‘tidak elok’ untuk bersikap konfrontatif. Sebagai hasilnya, semua orang belajar menekan perasaan emosi dan mengesampingkan kebutuhan dan hasrat pribadi. Akibatnya menimbulkan kebekuan perasaan dan kemarahan yang meledak sewaktu-waktu, dan seringkali pada saat-saat yang tidak pada tempatnya entah dalam keluarga atau dalam bentuk missal, bila memang dalam konteks sosial.
Dalam keluarga yang menekan perasaan, anggota keluarga menjadi “survivors.” Mereka mengembangkan perilaku yang membantu mereka menyangkal, mengabaikan, menghindari emosi yang sulit. Mereka tidak membicarakan masalah yang ada, tidak menyentuh masalah yang terjadi melainkan berputar-putar di sekitar masalah inti, dan tidak melakukan konfrontasi. Hal ini membuat mereka, sengaja atau tidak, belajar mematikan perasaan, sehingga menimbulkan perasaan ketidakpercayaan dan kecurigaan berlebih. Emosi keluarga biasanyaditahan agar tidak meledak. Semua ditampilkan baik di luar kepada orang lain agar tidak memalukan. Menariknya, bukankah pendidikan seperti ini sangat tipikal di Indonesia ?
- BUDAYA DAN KODEPENDENSI
Di budaya Indonesia , perempuan seringkali dibesarkan untuk manis dan tidak menimbulakn masalah. Ia tidak konfrontatif, melainkan harus dapat menahan atau tidak menunjukkan emosi, mengesampingkan kebutuhan pribadi dan mengutamakan kebutuhan orang lain. Ini sebatulnya adalah inti kodependensi. Nilai budaya yang diterjemahkan dalam aturan keseharian ini bisa menimbulkan kodependensi, misalnya:
a. Kalau tidak bisa mengatakan sesuatu yang bagus, jangan ngomong – karena lidah tak bertulang.
b. Jangan tunjukkan pada orang kalau kamu sedang ada masalah. Jangan sampai orang lain tahu kalau kamu sedang bermasalah.
c. Jangan menyusahkan orang lain, simpan masalah sendiri dan tak perlu minta bantuan. Atasi sendiri.
d. Jangan obral perasaan; pendam perasaan buat kamu sendiri.
e. Komunikasi yang terbaik adalah kalau tidak langsung; jangan frontal, nanti salah tangkap.
f. Jadilah orang yang baik, benar, sempurna, kuat.
g. Buat kami bangga! Capai sesuatu yang lebih dari kamampuan realitas kamu! Kamu pasti bisa!
h. Jangan mementingkan diri sendiri. Utamakan orang lain.
i. Jangan ikuti apa yang aku lakukan, lakukan apa yang aku katakan.
j. Jangan main-main, itu tidak dewasa. Jadi orang harus serius.
k. Jangan goyangkan perahu, jangan timbulkan masalah.
l. Jadilah wanita yang baik, cantik, manis dan mengurus suami dan anak dengan baik.
Ajaran-ajaran tersebut sebetulnya baik dan ideal, namun juga mendorong harapan tertentu yang kontra-konstruktif yang tidak bisa dipenuhi dengan mudah. Semua anggota dalam keluarga dilihat sebagai perpanjangan dirinya sendiri. Anak bermasalah, karenanya mempermalukan seluruh anggota keluarga, mereka yang jadi perpanjangan dari identitas si anak bermasalah. Karenanya, seorang kodependen memiliki harapan tertentu terhadap anak yang kerap tidak realistis sebab perpanjangan dirinya harus lebih sempurna supaya identitas kodependen juga tertarik ke atas.
Orang yang kodependen karena tidak bisa mengatakan kebutuhannya secara langsung, sehingga bisa berputar-putar dan juga akan terpaksa mancari jalan lain untuk mamperoleh apa yang dibutuhkannya. Caranya umumnya adalah dengan perilaku yang cenderung mengontrol (misalnya menahan uang, perhatian, kasih saying, seks, dan lain sebagainya) dan mengendalikan orang lain dengan menimbulkan rasa bersalah pada diri orang.
- KODEPENDENSI: PENYUBUR ADIKSI
Rasa percaya diri seorang kodependen termasuk rendah. Untuk mangkompensasikannya, mereka mencari hal di luar diri mereka untuk merasa lebih baik tentang dirinya sendiri. Mereka sulit bertindak lepas. Beberapa akan mencoba mambuat diri merasa lebih baik dengan alcohol, narkoba atau obat-obatan lain. Beberapa lainnya mengembangkan perilaku kompulsif seperti gila kiarja (workalholism), berjudi atau melakukan aktivitas seksual dengan berganti-ganti pasangan sebagai cara untuk sekedar dapat ‘merasa hidup’ dan merasa lebih baik tentang dirinya. Sesuatu yang dirasakannya memberikannya kenikmatan, akan diulanginya secara kompulsif. Perempuan secara kompulsif akan menjadi pecandu, entah itu pecandu narkoba, pecandu belanja, pecandu kerja, ataupun pecandu laki-laki dan ribuan perilaku kompulsif lainnya.
Jadi, budaya bungkam yang dapat menimbulkan lahirnya perempuan kodependen, juga menyuburkan adiksi karena menciptakan keluarga yang bungkam sehingga para anggotanya tak mamiliki coping skill dan keterampilan memecahkan masalah yang memungkinkan mereka bertindak mengatasi situasi. Ada bedanya tentu untuk menunjukkan sikap sopan menghadapi kesalahan orang lain, dengan ketidakmampuan mangatasi situasi serta memecahkan masalah yang membutuhkan sikap keras dan tegas. Orang yang tegas, bukan tidak bisa bersikap sopan. Kodependen memang bisa bersikap sopan, tapi tak bisa bersikap tegas dan tak mampu memecahkan masalah.
Jika ditekusuri, umumnya kodependen sebetulnya memiliki niat yang baik. Mereka berusaha mengurus orang lain, namun perilaku mereka cenderung kompu;sif dan menghancurkan diri sendiri karena tidak mampu bersikap tegas saat dibutuhkan. Atau, mnimbulkan kebencian orang lain kepada dirinya dan secar tak sadar mengikis rasa hormat orang terhadap mereka.
Mereka cenderung mengambil peran sebagai ‘martir’. Istri akan menutupi kebohongan suami atau ibu akan membuat alasan dan dalih untuk melindungi anaknya, atau melakukan apapun untuk melepaskan anak dan suami dari masalah.
Melepaskan anak dan suami dari masalah, mambuat meraka bangga sekaligus getir dalam pengorbanannya, berharap si pecandu suatu saat nanti akan berterima kasih pada mereka. Masalahnya, upaya menyelamatkandengan cara ini akan membuat si pecandu akan keterusan dan menjadi makin tergantung pada ‘kepengurusan’ si kodependen. Si pecandu, justru makin tidak bertanggungjawab dan makin tidak hormat. Bicara dengan para kodependen bisa melelahkan karena mereka tidak menyadari tindakan penyelamatan yang selalu dilakukannya itu8lah yang membuat si pecandu semakin tak bertanggungjawab. Mereka menjadi pemungkin (enabler) si pecandu untuk terus memakai tanpa konsekuensi berarti.
Seringkali kodependen tidak menyadri pula bahwa hilangnay rasa hormat si pecandu bisa berakibat sangat fatal, karena sebenarnya makin merusak kemampuan si kodependen untuk membantu si pecandu dalam jangka panjangnya. Sekali rasa hormat si pecandu pupus, hilanglah kemampuan kodependen untuk dapat pernah membantunya. Kedudukan tersebut harus digantikan orang lain yang masih dihormati oleh si pecandu.
Namun pada sebagian kodependen memang ada sisi lainnya yang tak langsung terlihat orang. Si kodependen memang secara tak sadar menginginkan si pecandu untuk tetap tidak beres-beres sehingga kodependen bisa tetap berfungsi sebagai penyelamat. “Misi membereskan si pecandu” kerap menjadi focus hidupnya, dan saat si pecandu ‘beres’, ia kehilangan ‘misi’ sehingga secara tak sadar akan mensabotase penyembuhan si pecandu. Memfokuskan diri pada si pecandu atau orang yang bermasalah dalam hidupnay, memberikannya kemungkinan untuk melarikan diri dari kehsrusan berfokus pada pembenahan dirinya sendiri.
Dengan meningkatnya ketergantungan si pecandu, si kodependen makin merasa dibutuhkan dan merasa ‘puas’ dibutuhkan. Ia seolah tanpa sadar ingin menyombongkan bahwa ia peduli pada si pecandu, namun dengan cara yang salah. Ia makin ditarik ke badai si pecandu dan kian giat menjadi pengurus dengan misi. Namun, saat perilaku mengurus ini kian kompulsif, ia makin menjadi tidak berdayadan tidak mampu menarik diri dari hubungan tersebut. Ia akhirnya menjaditeramat lelah, dan teramat marah, tanpa menyadari bahwa dialah yang sebatulnya menyebabkan hal ini sampai terjadi.
Seorang kodependen melihat diri mereka sebagai korban, menunjukkan diri mereka sebagai korban, walaupun mereka sebetulnya tertarik pada kelemahan orang lain. Semakin lemah, semakin mereka bisa ‘berfungsi’ membereskan orang lain dan jadi ‘pengurus’. Mereka menjadi magnet orang-orang yang cenderung memanfaatkan mereka dan makin membuat orang semakin tidak bertanggungjawab. Jarang mereka bisa bicara soal perasaan pribadi, dan yang dibahas hanyalah orang lain. Kodependen seringkali menjadi tukang gosip yang hebat namun mereka kerap tak tahu perasaan mereka sendiri dan secara emosional seringkali merasa tumpul. Para kodependen kian lama kian tak tahu siapa diri mereka sendiri dan apa yang diinginkannya, namun akan berusaha menunjukkan bahwa mereka tahu masalah semua orang.karenanya, mereka lebih senang bergosip tentang apa yang dipersepsikannya sebagai masalah orang dengan gaya yang seolah-olah peduli (padahal tidak), dibandingkan melakukan suatu hal yang konstruktif.mereka tak bisa berfokus pada perubahan dirinya, karena bukankah mereka orang yang penuh pengorbanan dan selalu mementingkan kepentingan orang lain?
Memang buat orang awam, seorang kodependen bisa tampil seolah ia peduli, namun dengan waktu realita akan membuat orang awam terpana. Mereka membicarakan orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka pribadi untuk merasa sebagai penyelamat dan kepada siapa semua orang datang meminta bantuan. Sementara sebetulnya, mereka lebih sering merusak dibandingkan menyelamatkan. Pemulihan baru bisa terjadi bila mereka mulai belajar memfokuskan diri pada pemulihan diri mereka sendiri dan menghabiskan wkatu untuk menilai diri mereka sendiri dan mulai emnikmati kehidupan serta mulai dapat memanjakan diri pribadi.
Kalau seorang kedependen menjadi teman, anda tak akan perlu musuh. Secara disadari atau tidak, perilaku mereka seringkali mensabotase atau memboikot. Itulah letak penyakit mereka. Berbicara dengan para kodependen, sangat mudah melihat siapa yang masih meramalkan apakah si pecandu akan bermasalah terus atau tidak. Kuncinya adalah, bila anda mendengan keluarga yang masih sering membicarakan orang lain, juga lebih banyak berbicara tentang ‘kekacauan’ si pecandu, menunjukkan betapa menderitanya ia dan betapa tabahnya ia menghadapi segala cobaan, dibandingkan memfokuskan diri pada perubahan bagi diri sendiri dan mengamati nilai-nilai pribadinya maka anda akan melihat siapa yang masih kodependen dan siapa yang sudah mulai pulih dari kodependensi.
Orang yang kodependen memiliki karakteristik tertentu yang khas. Mereka cenderung memiliki:
· Perasaan bertanggung jawab berlebihan atas tindakan orang lain, mengambil beban lebih dan seringkali meminta maaf demi kepentingan orang lain.
· Kecenderungan untuk rancu antara cinta dan iba, dengan kecenderungan untuk ‘ mencintai’ hanya orang yang dapat mereka kasihani dan selamatkan
· Kecenderungan melakukan lebih dari apa yang layaknya, setiap saat
· Cenderung sakit hati kalau orang tidak ‘melihat’ upaya mereka
· Ketergantungan tak sehat pada hubungan dengan orang lain. Seorang kodependen akan melakukan apapun untuk mempertahankan hubungan, menghindari perasaan ditinggalkan
· Kebutuhan ekstrim untuk approval dan rekognisi
· Merasa bersalah kalau tegas, tidak berani tegas
· Kebutuhan teramat kuat untuk mengendalikan orang lain, hasil ataupun kejadian
· Kurang percaya pada diri sendiri dan/ atau orang
· Takut ditinggalkan atau takut akan kesendirian
· Kesulitan mengidentifikasikan perasaannya
· Manipulatif dan kerap menyalahkan orang lain, atau membuat orang merasa bersalah.
· Kekakuan/ kesulitan untuk berubah, keras kepala
· Masalah dengan keintiman/ batasan
· Kemarahan dan penuh kebencian kronis yang tidak jelas
· Berbohong secara kronis/ tidak jujur, demi diri sendiri atau orang lain
· Komunikasi dan ekspresi diri buruk
· Kesulitan mengambil keputusan sehingga tampil plin plan
· Penuh rasa curiga
· Menghindari upaya untuk melihat dan menggali perasaan pribadi
· Perfeksionis
· Kesulitan untuk intim dan terbuka dengan orang
· Perilaku selalu menjadi seksi repot atau selalu mengurusi orang
· Terlalu waspada akan bahaya atau ancaman potensial
· Penyakit fisik akibat stress
Orang kodependen adalah orang yang ‘sakit’ karena adanya ‘orang sakit’ di lingkungan terdekatnya. Orang tertentu bisa mempunyai ‘bakat lebih’ dibandingkan orang lain untuk menjadi kodependen. Orang kodependen paling sering membuat terapis frustasi karena kerap tidak mampu mengubah diri namun teramat ingin mengendalikan orang lain. Mereka kerap tak mampu melihat perilakunya yang destruktif.
Orang yang kodependen sulit mengatakan tidak dan sungkan meminta bantuan. Mereka merasa inferior dan tidak yakin akan diri sendiri. Kegagalan orang lain dalam lingkungan terdekatnya dilihat sebagai kegagalan dirinya. Mereka membentuk perilaku dan pembicaraan mereka untuk memperoleh perhatian dan pujian orang lain. Mereka memiliki harapan berlebihan atas orang lain, tertutama orang yang signifikan dalam hidupnya dan umumnya menjadi teramat marah atau kesal jika orang-orang tersebut tidak memenuhi harapannya yang ambisius atau berlebihan.
Anda kodependen jika….
· Anda cenderung diam saja untuk menghindari argumentasi?
· Cenderung khawatir akan apa yang dipikirkan orang tentang anda?
· Pernah hidup serumah dengan orang yang punya masalah?
· Pernah hidup serumah dengan orang yang mengecilkan diri anda, menghina anda atau menyakiti anda?
· Apakah seringkali pendapat orang lain lebih penting dari pendapat anda sendiri?
· Sulitkah anda menyesuaikan diri dengan perubahan di rumah atau dikantor?
· Anda merasa dikesampingkan kalau orang yang anda sayangi menghabiskan waktu dengan teman-temannya?
· Anda ragu bisa menjadi apa yang anda inginkan?
· Anda tak nyaman menyatakan perasaan anda yang sesungguhnya?
· Anda merasa tidak adekuat atau serba kurang dibandingkan orang lain?
· Anda merasa seperti ‘orang jelek’ kalau anda melakukan kesalahan?
· Anda sulit menerima pujian orang?
· Anda merasa dipermalukan kalau anak atau pasangan melakukan kesalahan?
· Anda merasa bahwa orang-orang dalam kehidupan anda akan hancur bila anda tidak berupaya mendorong mereka?
· Anda kerap berharap orang lain dapat membantu anda menyelesaikan banyak hal yang anda kerjakan?
· Anda sulit berbicara dengan pihak berwenang, misalnya polisi atau atasan anda?
· Anda bingung akan siapa diri anda sebetulnya dan kemana arah hidup anda sesungguhnya?
· Anda sulit mengatakan tidak kalau dimintai bantuan?
· Anda sulit/ sungkan meminta bantuan orang lain?
· Anda melakukan banyak hal tapi tidak tahu kenapa anda bisa sedemikian sibuk?
Orang yang kodependen focus mental dan perhatiannya lebih kepada orang lain, khususnya orang yang disayangi. Namun, mereka juga kerap kali sulit menjaga hubungan yang stabil dengan pasangan. Mereka selalu keluar masuk hubungan yang sangat tidak stabil (penuh badai) karena pada dasarnya mereka lebih tertarik pada orang yang tidka bisa bertanggung jawab, tidak bisa dipegang, atau secara emosional tidak hadir. Merasa tidak nyaman dan tidak aman kalau tidak berada dalam suatu hubungan dengan orang lain secara intens dan sepihak. Mereka seringkali mengalami depresi.
TABEL 1. PERAN ANGGOTA KELUARGA PADA KELUARGA YANG MENGALAMI MASALAH KECANDUAN NARKOBA
Pecandu | Pemungkin Utama | Pahlawan | Kambing Hitam | Anak Hilang | Maskot | |
Perasaan | Malu, tidak adekuat, merasa bersalah | Marah dan tidak berdaya | Rasa bersalah | Merasa diri lebih rendah | Kesepian | Takut kehancuran |
Perilaku | Kecanduan | Khawatir dan melindungi secara berlebihan, meledak dalam kemarahan | Prestasi berlebihan | Menyimpang, melawan | Pasif | Bercanda, melucu, aktivitas berlebihan |
Mekanisme Pertahanan diri | Penyangkalan | Menhindari situasi krisis | Obsesif, kompulsif dan perilaku kaku | Menggantikan | Menghindar atau mundur | Menghibur |
Imbalan | Membebaskan sakit emosional | Ketenangan sementara (seberapapun harganya), meningkatkan harga diri | Perhatian positif dan pujian | Perhatian (negative ) | Melarikan diri dari kehancuran | Membebaskan ketakutan |
Harga | Kehancuran diri sendiri | Penipuan diri mempertahankan kecanduan | Workaholisme, kemungkinan meledak | Penolakan dan pengasingan | Isolasi sosial | Ketidakmatangan psikologik |
Kodependensi membuat lingkaran adiksi menjadi siklus yang berkepanjangan
Orang kodependen berusaha memberikan dan mengendalikan semua dalam hubungannya dengan orang lain. Mereka menomorduakan kebutuhan atau hasrat sendiri. Akibatnya mereka akan terus secara tidak sadar memposisikan dirinya sedemikian rupa sehingga kebutuhannya sendiri tidak akan kunjung terpenuhi. Dan mereka akibatnya jadi getir. Mereka punya alasan untuk menjadi ‘martir’ alias sok menjadi korban sehingga dikasihani pula oleh orang lain yang dapat melihat betapa luar biasanya ia dan betapa baiknya ia untuk terus bertahan menghadapi beragam siksa dan cobaan. Padahal, mereka mengundang sendiri siksa dan cobaan yang mereka hadapi itu secara sadar maupun tidak.
Meski orang kodependen bisa berhadapan dengan orang sehat, orang yang kodependen memiliki sistemnya sendiri. Mereka kurang nyaman terlibat dengan orang yang tidak bisa ‘diselamatkan’, orang yang dapat diramalkan, orang yang bertanggung jawab, karena mereka tidak dapat ‘berfungsi’ dan tidak mendapat angina. Ini tentu menyebabkan masalah yang terus berkepanjangan dalam hidup mereka .
Kalau orang yang kodependen tidak dapat terlibat dalam hubungan yang sehat dengan orang yang berperilaku sehat dan mempunyai kemampuan mengatasi masalah sendiri, maka ia akan terus berada dalam hubungan yang buruk seumur hidupnya.
Cinta kodependen memiliki bentuk tersendiri. Cinta yang kodependen tampil dalam bentuk selalu menyelamatkan, melindungi dan akhirnya merusak. Cinta jenis ini dapat dilihat muncul dari orangtua, pasangan, teman dan rekan kerja yang kodependen kepada orang yang bermasalah, misalnya pecandu. Cinta ini melindungi pecandu dari konsekuensi perilaku mereka, karenanya mencegah pendewasaan mereka dan pembelajaran mereka untuk bertindak dan menjadi bertanggung jawab. Disinilah salah satu sabotase kodependen. Mereka ingin orang lain selalu tergantung pada mereka dan orang akan dilarang untuk bersikap mandiri!
TABEL 2. PERBANDINGAN ANTARA CINTA KERAS DENGAN CINTA KODEPENDEN
CINTA KERAS | CINTA KODEPENDEN |
Cinta keras adalah cinta yang tegas, pemecahan yang penuh kepedulian bagi keluarga dan individu yang secara negative terkena dampak perilaku pecandu yang sebetulnya tidak dapat diterima. | Cinta lembek yang tampil dalam bentuk selalu menyelamatkan, melindungi dan akhirnya merusak, dari orangtua, pasangan, teman dan rekan kerja yang ko-dependen kepada si pecandu. Sayangnya, cinta lembek tampaknya jadi norma, terutama di tengah keluarga pecandu. |
Cinta keras berarti mengizinkan si pecandu mengalami konsekuensi dari perilakunya sendiri, sepahit apapun itu. Menyadari, bahwa bila si pecandu berani berbuat, ia harus berani bertanggung jawab penuh tanpa menyeret orang lain, demi proses pendewasaannya sendiri. | Cinta kodependen berarti melindungi pecandu dari konsekuensi si perilaku mereka, karenanya, mencegah pendewasaan mereka dan pembelajaran mereka untuk bertindak dan menjadi bertanggung jawab. |
Cinta keras berarti mendefenisikan hak-hak dan batsan-batasan Anda sebagai orangtua atau pasangan, dan menekankan agar orang lain menghargai batasan-batasan tersebut. | Cinta kodependen berarti membuang diri anda di lantai dan mengizinkan si pecandu membuat anda menjadi keset kaki, dan karenanya, membuang kesempatan pecandu untuk belajar menghormati orang lain. |
Memberikan aturan-aturan tegas dan jelas serta batasan-batasan yang masuk akal, dan menuntut pecandu untuk mengikuti aturan tersebut. | Memberikan batasan-batasan namun mengizinkan pecandu melanggar batasan tanpa konsekuensi yang bermakna, karenanya, mengajarkan mereka bahwa aturan tidak ada artinya. |
Cinta keras berarti belajar keras terhadap diri sendiri dan tidak menyelamatkan si individu ketika semuanya tak berjalan sesuai yang anda harapkan. | Cinta kodependensi berarti membiarkan anda melepas batasan setiap ada kesulitan, terutama kalau tampaknya anda akan dinilai, dikritik, atau tidak disayang karena anda tegas pada prinsip anda. |
Cinta keras tidak berarti anda tidak peduli atau tidak saying. Namun, untuk berhenti memperlakukannya sebagai anak ingusan yang lemah, kecil, dan tak punya daya. Ini juga berarti baik si pecandu dan ‘korban’ menyadari realita perilaku dan keputusan mereka. Disinilah letak permainan keduanya. | Cinta kodependen berarti anda tidak perduli dan tidak sayang, karena anda menginginkan si pelanggar selslu tergantung pada diri anda. Disini adalah letak permainan ketergantungan keduanya, baik si pecandu maupun si ‘korban’. |
Membuat kita berfokus pada motivasi dan perilaku kita, dan bukan pada dosa si pecandu. | Cinta kodependen membuat kita berfokus pada si pecandu, dan mengalihkan perhatian dari kelemahan kita sendiri. |
Contoh berikut menunjukkan betapa sakitnya hubungan kodependen:
“Ya, memang saya dipukul. Tapi saya yakin bukan karena maksudnya untuk memukul begitu. Itu kan karena dia sedang sakaw jadi emosi tinggi. Saya juga tahu dia main dengan perempuan lain. Tapi …saya masih tidak bisa meninggalkan dia, karena dia juga masih kerja kok, jadi nggak apalah, selama kebutuhan di rumah terpenuhi…”(, 38 tahun, istri pecandu shabu)
Mereka memberikan batasan-batasan untuk mengatur orang lain, namun mengizinkan orang lain melanggar batasan tanpa konsekuensi yang bermakna, karenanya mengajarkan mereka bahwa aturan yang dibuat itu tidak ada artinya. Mereka akan melepas aturan atau batasan setiap ada kesulitan, terutama kalau tampaknya mereka akan dinilai, dikritik, atau tidak disayang karena tegas pada prinsip yang ada. Bentuk cinta karet ini sebenarnya merupakan cinta yang tidak ada kepedulian dan kasih sayang, karena menginginkan si pelanggar selalu tergantung dan tidak mandiri. Juga, tidak mengajarkan si pecandu dalam kehidupan mereka untuk tahu batasan jalan.
Para pecandu dan kodependen, hal diatas adalah letak permainan ketergantungan keduanya. Baik si pecandu maupun si ‘korban’ berfokus pada orang lain. Mereka mengalihkan perhatian dari kelemahan pribadi. Cinta yang diberikan muncul dalam suatu lingkaran yang tidak sehat yang terus berputar. Sampai akhirnya, suatu saat orang-orang yang sehat akan cenderung menjauh dari si pecandu dan si kodependen serta permainan drama antara keduanya yang berulang, dan lingkaran setan di antara keduanya akan berkembang kian sengit hingga titik ledak. Kadang titik ledak tak berbalik si kodependen ini yang justru menyelamatkan si pecandu, selama si kodependen benar-benar serius berhenti menyelamatkan karena sudah terlalu jengkel dan sakit hati.