a). Keluarga
Keluarga adalah unit sosial yang paling kecil dalam masyarakat yang peranannya besar sekali terhadap perkembangan keperibadian anak, terlebih pada masa awal perkembangan yang akan menjadi landasan bagi perkembangan selanjutnya. Suatu keluarga terdiri dari pribadi-pribadi seperti ayah, ibu dan anak-anak sebagai keluarga inti. Dalam keluarga besar masih ada pribadi-pribadi lainnya seperti kakek, nenek, paman dan lain-lain. Dalam hubungannya dengan kegiatan resosialisasi dan pembinaan lanjut eks penyalahguna narkoba, peranan keluarga menjadi sangat penting agar masing-masing pribadi diharapkan tahu peranannya di dalam keluarga dan memerankannya dengan baik, sehingga keluarga menjadi wadah yang memungkinkan terciptanya keluarga yang fungsional.
Ciri-ciri keluarga fungsional, sebagai berikut:
1. Minimnya perselisihan antar orang tua, atau antar orangtua-anak.
2. Adanya kesempatan bagi anak untuk menyatakan keinginan atau harapannya.
3. Orangtua menumbuhkan rasa percaya diri pada anak.
4. Penuh kasih sayang.
5. Penerapan disiplin yang tidak keras.
6. Memberikan peluang agar anak bersikap mandiri dalam berfikir, merasa dan berprilaku.
7. Saling menghormati dan menghormati antara orangtua dan anak.
8. Adanya musyawarah dalam memecahkan permasalahan keluarga.
9. Memberikan tanggungjawab akan tugas sehari-hari dalam lingkungan keluarga.
10. Menjalin kebersamaan antara orangtua dan anak.
11. Menanamkan nilai-nilai religi kepada anak.
12. Orangtua menjadi model yang baik pada anak di dalam kehidupan sehari-hari.
13. Orangtua memiliki emosi yang stabil.
14. Orangtua mempunyai waktu untuk keluarga..
Apabila suatu keluarga tidak mampu menciptakan iklim kehidupan secara fungsional seperti di atas, maka keluarga tersebut telah mengalami stagnasi atau kemandegan atau disfungsional, yang pada gilirannya akan merusak kekokohan konstelasi keluarga khususnya terhadap perkembangan kepribadian anak. Pada gilirannya proses resosialisasi dan pembinaan lanjut eks penyalahguna narkoba akan mengalami kegagalan. Hal ini memberi gambaran bahwa kondisi keluarga yang tidak fungsional, tidak harmonis, tidak stabil, atau yang retak (broken home), merupakan salah satu faktor penyebab eks penyalahguna narkoba mengalami kekambuhan kembali (relapse).
Faktor-faktor yang memungkinkan eks penyalahguna narkoba mengalami kegagalan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan keluarga atau mengalami kekambuhan kembali (relapse) antara lain:
1. Keluarga tidak/belum siap menerima kembali anggota keluarganya yang pernah menjadi pengguna narkoba, sehingga eks pengguna mengalami frustasi atau depresi.
2. Di dalam keluarga itu sendiri hubungan antar anggota keluarganya tidak harmonis menyebabkan eks penyalahguna kurang mendapat perhatian atau kasih sayang orangtua.
3. Sikap orang tua melimpahkan kesalahan pada anak eks penyalahguna narkoba tanpa mau instrospeksi diri.
4. Orang tua bersikap selalu mencurigai anak penyalahguna narkoba.
5. Orang tua bersikap melecehkan dan menghancurkan harga diri anak eks penyalahguna narkoba.
6. Penanaman nila-nilai religi yang kurang.
Dalam kaitannya dengan iklim kehidupan keluarga yang tidak religius ,atau kurang mengupayakan pananaman dan mengembangkan kesadaran beragama pada anggota keluarganya merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekambuhan (relapse) pada eks pengguna narkoba. Kekokohan penerapan nilai-nilai agama, dalam keluarga, di samping sebagai landasan fundamental bagi pengembangan pribadi yang mantap bagi para anggotanya, juga sangat berkontribusi memantapkan kepribadian eks pengguna narkoba. Oleh karena itu, apabila terjadi erosi nilai-nilai agama dalam keluarga, maka akan menimbulkan malapetaka kehidupan dalam keluarga itu sendiri.
3). Faktor-faktor yang memberi kontribusi terjadinya relapse
Petugas resosialisasi dan pembinaan lajut patut memahami benar berbagai faktor yang dapat mengumbang terjadinya relapse. Talbott (1991:16-18) mengidentifikasi berbagai faktor yang dapat memberikan kontribusi bagi timbulnya relapse, antara lain:
a) Kurang mengerti dan menerima kenyataan bahwa ketergantungan narkoba itu suatu penyakit.
Ketidakmengertian bahwa ketergantungan narkoba adalah suatu penyakit merupakan faktor mendasar timbulnya relapse.
Oleh karena dasar dan mengertilah bahwa tergantung pada narkoba adalah penyakit berbahaya!
b) Menampik diri bahwa perilakunya sudah lepas-kendali Patut diwaspadai:
1. Eks penyalahguna narkoba tidak percay bahwa ia sering berperilaku lepas-kendali.
2. Eka penyalahguna meras yakin bahwa ia dapat memakai narkoba dan itu tidak membahayakan sepanjang pemakaiannya berharti-hati.
3. Eks penyalahguna narkoba cenderung mempersamakan pengalaman lamanya menggunakan narkoba sehingga membahayakan jiwa-raganya, tetapi dengan mengharapkan hasil yang baru: memakai narkoba tatapi tidak terkena resiko apapun. Padahal itu mustahil!
c)Ketidakjujuran
Faktor ketidakjujuran ini adalah adanya kerancuan untuk membedakan realita yang dihadapi seorang eks penyalahguna narkoba dengan emosi-emosi yang dimilikinya. Waspadalah petugas terhadap faktor ini. Eks penyalahguna narkoba mungkin sekali untuk membohongi realita yang sedang menimpa dirinya, bahwa menggunakan narkoba sebenarnya tidak anak dan merusak, bahwa ia ingin lari dari masalah dengan narkoba!
d) Disfungsi keluarga
Waspada dan hati-hatilah jika keluarga tidak lagi dijadikan rujukan untuk menumpahkan segala persoalan dan keluh-kesah, bapak-ibu tidak lagi menjalankan peran dan kewajibannya sebagai panutan, tempat anak-anaknya berlindung dan mendapatkan kasih sayang. Alasan disfungsi ini seringkali klise: ayah-ibu sibuk mencari nafkah, tidak punya banyak waktu merawat anak, memperhatikan kebutuhannya! Kalau sudah demikian, tandanya keluarga sedang mengalami disfunsi.
e) Kurang mendapat sentuhan nilai-nilai spiritual. Nilai spiritual tidak terbatas pada satu agama tertentu.
Nilai dan keyakinan bahwa ada Sang Maha Kuasa akan mengabulkan permohonan hambanya untuk mengatasi masalah. Keyakinan dan harapan bahwa masalah narkoba yang dialaminya akan dapat diatasi dengan keyakinan diri dan pertolongan Yang Maha Kuasa merupakan nilai-nilai spiritual dasar yang harus ditumbuhkembangkan. Tanpa sentuhan nilai-nilai itu bisa jadi, eks penyalahguna narkoba dan keluarga akan semakin frustasi dan kehilangan harapan.
f) Stress atau Tekanan Psikologis
Jika eks penyalahguna narkoba yang tengah resosialisasi atau bahkan masih dalam psoses penembuhan mengalami kelelahan, sering cepat marah, suka merasa tergoda menggunakan kembali narkoba, maka ia tengah menghadapi stress. Kenalilah tanda-tanda stress ini dan waspadalah!
g) Mengisolasi Diri
Tindakan mengisolasi diri merupakan faktor lain yang menyumbang timbulnya relapse. Perilaku yang ditunjukkan oleh eks penyalahguna narkoba sebagai wujud mengisolasi diri antara lain:
1. Menarik diri dari pergaulan dengan sesama dan dunia luar dirinya.
2. Berpikir dia sendirian di dunia ini, merasa kesepian.
3. Merasa tanpa teman dan tanpa pertolongan.
4. Tanpa harapan untuk kembali pulih dari ketagihan narkoba.
h) Sindrome Hari Istimewa
Faktor ini terkesan tidak begitu erat dengan timbulnya relapse. Tapi waspadalah bahwa dibalik keinginan untuk merayakan hari istimewa, seperti ulang tahun, valentine day bahkan hari besar agam dapat mamicu relapse. Momentumnya adalah pada timbulnya kembali ingatan dan kenangan lama yang membuat kesediahan dan pengalaman pahit yang membuat ia lari ke narkoba. Maka waspadalah terhadap ingatan yang dipicu oleh keinginan untuk merayakan sesuatu!
i) Terlalu Percaya Diri
Faktor terlalu percaya dan menganggap diri mampu mengendalikan diri ketika timbul keinginan mencicipi kembali narkoba akan menjerumuskan eks penyalahguna narkoba dan akhirnya ia mengalami relapse.
Oleh karena petugas resosialisasi dan pembinaan lanjut perlu mengingatkan terus eks penyalahguna narkoba untuk jangan terlalu percaya diri dengan kemampuannya dan kondisinya yang akan segera pulih. Godaan untuk kembali memakai narkoba tetap tidak boleh dianggap enteng!
j) Kembali Ke Teman-teman Lama yang Memakai Narkoba dan Kebiasaan lamanya sebelum pulih dari narkoba.
Faktor teman sebaya sangat dominan untuk terjadinya relapse. Maka menjauhkan eks penyalahguna narkoba dari teman-teman lamanya yang memakai narkoba sangat penting tetapi juga tidak mudah. Teman lama akan besar pengaruhnya dengan mengingat pula kebiasaan lama sebagai tanda setia kawan, yaitu memakai narkoba kalau mau hidup enjoy! Waspadalah!
k) Menyalahkan Masa Lalu
Faktor menyalahkan masa lalu memberikan kontribusi bagi terjadinya relapse. Eks penyalahguna narkoba harus dapat diyakinkan untuk tidak terlalu menyalahkan masa lalu, termasuk menyalahkan masa lalu, termasuk menyalahkan keadaan diri dan keluarganya sehingga ia menjadi pemakai narkoba.
4) Upaya Pencegahan Relapse
Kabar yang membawa semangat baru: Relapse itu ternyata dapat dicegah! Tahap-tahap dasar yang dapat digunakan untuk mencegah timbulnya relapse pada tahap resosialisasi dan pembinaan lanjut antara lain adalah:
a). Upaya untuk menghadirkan kembali dan mengajak partisipasi kelompok pendukung (supporting group). Kehadiran dan partisipasi mereka merupakan inti dari program penyembuhan yang baik, termasuk pada tahap resosialisasi ini. Kelompok pendukung ini berperan sebagai sponsor yang efektif bagi eks penyalahguna narkoba. Mereka dapat memotivasi eks penyalahguna narkoba untuk mengerjakan suatu urusan tertentu pada satu hari dalam satu waktu, setiap hari, selama sisa hidupnya mengikuti program penyembuhan ini.
b). Bantulah eks penyalahguna narkoba untuk terbiasa dengan proses relapse sama halnya mengenal faktor-faktor yang menyebabkan relapse.
c) Dukunglah eks penyalahguna narkoba untuk makin mampu memahami diri sendiri berkaitan dengan tahap-tahap dan proses relapse. Pemahaman ini akan mamberikan kesempatan kepada petugas resosialisasi untuk menolong eks penyalahguna narkoba dalam mengidentifikasi proses relapse.
d). Mengembangkan kepandaian baru untuk mengatasi situasi beresiko tinggi, seperti: keterampilan sosial, kemampuan untuk menyesuaikan diri atau belajar keterampilan-keterampilan vokasional (seperti: komputer, otomatif, presentasi dan sebagainya) yang bermanfaat bagi eks penyalahguna narkoba untuk menjalani kehidupannya.
e). Mengidentifikasi tanda-tanda peringatan terjadinya relapse, seperti: bergaul dengan teman lama pemakai narkoba, menyimpan alat-alat untuk menggunakan narkoba, sering mengurung diri di kamar dan menghayal enaknya memakai kembali narkoba.
f). Mengubah gaya dan pola hidup ke arah yang lebih sehat, seperti: makan dan tidur teratur.
g). Meningkatkan kegiatan yang produktif, seperti: bekerja dan berwirausaha
h). Aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan organisasi sosial, seperti: paguyuban warga, kegiatan amal, senam bersama dan sebagainya.
5). Upaya yang seharusnya Dilakukan Petugas Ketika eks Penyalahguna Narkoba Mengalami Relapse (Ketagihan dan Memakai Narkoba Kembali).
Berikut beberapa tips yang dapat memandu petugas dalam upaya mengatasi relapse pada eks penyalahguna narkoba pada tahap resosialisasi dan pembinaan lanjut:
a). Panggil dan undang para Sponsor dari eks penyalahguna narkoba.
b). Panggil dan undang teman-teman dari kelompok-pendukung.
c). Diskusikan dengan Dokter tentang Terjadinya Relapse.
d). Bicaralah dengan keluarga dan teman-teman dari eks penyalahguna narkoba.
2. KONSELING KELUARGA
Setiap keluarga merupakan susunan dari koalisasi dan subsistem yang lebih kecil atau dengan kata lain individu merupakan bagian dari keluarga dan masyarakat. Koalisasi tersebut dibentuk atas kerja sama antara suami istri, orangtua atau saudara kandung yang masing-masing memberikan kontribusi dalam melaksanakan fungsi-fungsi keluarga. Apabila salah satu fungsi tidak dapat dilaksanakan oleh anggota keluarga, maka keluarga tersebut dapat mengalami disfungsi keluarga (dysfunctional family).
Berkaitan dengan permasalahan NAPZA yang terjadi di tengah masyarakat, salah satu asp-ek psikososial yang merupakan faktor kontribusi terjadinya penyalahgunaan adalah faktor keluarga (keutuhan keluarga, kesibukan orangtua, hubungan antar pribadi atau antar anggota keluarga). Menurut Gerber (1983), penyalahgunaan zat adiktif sering berkaitan dengan kelainan dalam sistem keluarga, yang mencerminkan adanya kelainan psikopatologi dari satu atau lebih anggota keluarga. Sehubungan dengan itu, maka masalah penyalahgunaan obat juga dididentifikasikan sebagai penyakit endemik dalam masyarakat modern dan sebagai penyakit keluarga (family disease).
Lebih jauh Rutter (1980) menyatakan bahwa kondisi keluarga yang mempunyai resiko tinggi untuk menjadi penyalahguna NAPZA anggotanya adalah:
a. Kematian orangtua (broken home by death)
b.Perceraian orangtua (broken home by divorce)
c. Hubungan antara orangtua (ayah dan ibu) tidak harmonis (poor marriage)
d.Hubungan antara orangtua dengan anak yang buruk (poor parent-child relationship)
e. Suasana rumah tangga yang tegang (high tension)
f. Suasana rumah tangga tanpa kehangatan (absence)
g. Orangtua memiliki kelainan kepribadian
Permasalahan di atas menunjukkan bahwa ketidakharmonisan keluarga dapat mendorong terjadinya perilaku penyalahgunaan NAPZA. Dengan kata lain, kondisi ketidakharmonisan keluarga dapat merupakan penyebab terjadinya perilaku poenyalahgunaan NAPZA. Oleh karena itu, upaya penanganan individu (klien) penyalahguna NAPZA perlu melibatkan seluruh anggota keluarga yang merupakan orang-orang yang berpengaruh penting (significant others) terhadap kehidupan klien . upaya yang dilakukan melalui konseling keluarga bertujuan untuk membantu mengurangi beban psikologis keluarga dan meningkatkan partisipasi keluarga dalam menangani penyalahgunaan NAPZA.
a.konseling keluarga yang memfokuskan pada konselor.
Konseling versi ini dilaksanakan berdasarkan hasilasesmen konselor yang memastikan bahwa situasi dan kondisi keluarga menjadi penyebab terjadinya perilaku penyalahgunaan NAPZA. Pada versi ini, konselor lebih aktif dibandingkan klien (keluarga), di mana konselor memberikan dukungan dengan beberapa teknik, seperti pemberian saran, pemberian nasehat, katarsis, manipulasi lingkungan dan terapi bekerja. Pelaksanaan konseling keluarga ini diaplikasikan malalui langkah-langkah:
1. Menentukan dan memastikan berdasarkan hasil kegiatan asesmen psikologis bahwa faktor penyebab perilaku penyalahgunana NAPZA disebabkan oleh faktor keluarga atau keterlibatan keluarga dapat membantu memecahkan permasalahan klien.
2. Mendatangi atau meminta keluarga atau orang-orang yang berpengaruh terhadap kehidupan klien untuk dilibatkan dalamkegiatan konseling keluarga.
3. Mempersiapkan, mengatur dan menentukan waktu dan tempat kegiatan konseling keluarga berdasarkan kesepakatan antara konselor dengan keluarga klien.
4. Menentukan salah satu atau beberapa profesional yang terlibat dalam konseling keluarga.
5. Melaksanakan konseling keluarga.
6. Membuat evaluasi dan laporan hasil kegiatan konseling keluarga.
b. Konseling keluarga berfokus pada klien.
Langkah-langkah yang diaplikasikan pada konselingkeluarga versi ini identik dengan langkah-langkah pada konseling tidak langsung (non-directive counseling). Pada versi ini keluarga secara aktif datang kepada konselor untuk meminta bantuan.
Langkah-langkah konseling keluarga versi ini adalah:
1. Klien datang untuk meminta bantuan. Selanjutnya klien memasuki tahap yang penting, yaitu tahap di mana ia merasakan kebebasan agar terapi dapat dilanjutkan.
2. Perumusan situasi bantuan. Klien disadarkan bahwa konselor tidak memiliki juawaban, akan tetapi melalui proses konseling klien akan memperoleh bantuan sehingga dapat melakukanpemecahan masalahnya sendiri.
3. Konselor memberikan keberanian pada klien untuk mengungkapkan perasaannya sehubungan dengan masalah yang dihadapinya. Konselor dalam hal ini harus memperlihatkan sikap ramah, penuh perhatian dan penerimaan serta terciptanya percakapan terapeutik antara klien dan konselor.
4. Konselor menerima, mengenali dan nenjelaskan berbagai perasaan negatif yang muncul pada klien. Konselor siap menerima perasaan-perasaan ini dan harus siap memberikan respon tidak hanya pada kemampuan intelektual klien mengenai apa yang dibicarakan, akan tetapi juga terhadap perasaan yang mendasarinya. Konselor berusaha untuk menciptakan suasana di mana klien dapat memahami bahwa ia memiliki perasaan-perasaan negatif dan dapat menerimanya sebagai bagian dari dirinya. Hal itu lebih baik dari pada ia memproyeksikan perasaan-perasaan itu kepada orang lain atau menyembunyikannya di balik melkanisme pertahanan dirinya.
5. Ketika perasaan –perasaan negatif telah diungkapkan sepenuhnya, maka hal itu akan didikuti oleh ekspresi dorongan positif untuk berkembang lebih lanjut. Ekspresi positif adalah tanda yang jelas dan meyakinkan dari keseluruhan proses yang terjadi.
6. Konselor menerima dan mengenali perasaan-perasaan positif yang diungkapkan, sama sama ketika manerima dan mengenali perasaan-perasaan negatif. Perasaan positif tidak diterima oleh konselor sebagai sesuatu yang harus dipuji atau seperti layaknya sesuatu permintaan yang harus dipenuhi, melainkan sesuatu yang biasa ada pada diri pribadi seseorang. Dengan penerimaan seperti itulah klien belajar dan menyadari diri sendiri sebagaimana keadaan sebenarnya.
7. Pemahaman, pengenalan dan penerimaan akan diri sendiri adalah langkah berikut yang penting dari keseluruhan proses seseorang untuk maju ke tingkat yang baru.
8. Pemahaman ini dilakukan bersama-sama dengan upaya untuk memperjelas kemungkinan-kemungkinan keputusan atau tindakan yang akan dilakukan.
9. Penampilan tindakan positif. Suatu keputusan untuk melakukan sesuatu tindakan nyata adalah positif dan tumbuh sefikit demi sedikit dari diri klien sendiri.
10. Langkah selanjutnya tidak memakan waktu lama. Sekali klien mencapai tahap pemahaman dan melakukan tindakan positif, maka aspek yang tersisa dijadikan elemen untuk perkembangan selanjutnya.
11. Lambat laun tindakan yang positif dan terpadu pada klien semakin meningkat. Ketakutan memutuskan sesuatu akan berkurang dan rasa percaya diri makin besar dalam malakukan tindakan.hubungan konselor dengan klien pada saat ini mencapai puncaknya.
12. Muncul pikiran dan kesadaran pada klien untuk mengurangi kebutuhan akan bantuan dari konselor dan bahwa hubungan dengan konselorakan berakhir. Konselor menghentikan hubungan dengan klien sekalipun mungkin masih tersisa berbagai perasaan pada diri klien atau sebaliknya ada perasaan-perasaan tertentu dari pihak konselor. Namun hal itu harus diterima sebagai sesuatu yang wajar dan harus dihentikan secara baik dan sehat.